Sejarah Pesantren

Spread the love

Sejarah Pesantren

Pondok Pesantren Nurul Huda Sukaraja merupakan salah satu lembaga pendidikan sosial keagamaan Islam besar di wilayah Sumatera Bagian Selatan. Berpusat di Desa Sukaraja, Kecamatan Buay Madang, Kabupaten Ogan dan Komering Ulu (OKU) Timur, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), Pesantren ini tumbuh dan berkembang sebagai Pesantren Salafiyah Plus (PSP). Kurikulumyang berdasarkan pengajian kitab kuning metode Utawi Iki Ikumodel Pesantren Sriwangi OKU Timur dan Pesantren Lirboyo Kediri dikembangkan dengan penambahan materi pelajaran formal dan umum di atasnya. Model Salafiyah Plus ini bahkan telah dirintis oleh Kiai Haji Affandi, BA., di Desa Trimoharjo, Kecamatan Semendawai Suku III, OKU Timur sejak tahun 1978.

Sebagai putera transmigran OKU Timur pertama yang menamatkan studi di Pesantren Lirboyo Kediri bahkan sempat menyelesaikan Bacholoriat of Art di Jurusan Syariah Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Kediri, Kiai Affandi telah mengembangkan motivasi belajar santrinya. Sosok yang juga merupakan alumni pertama Madrasah Pesantren Subulussalam Sriwangi ini menyatakan kepada santrinya, bahwa siapa saja yang tekun mengaji dengannya juga akan bisa seperti teman-temannya yang menempuh pendidikan formal atau umum. Motivasi ini benar-benar menguatkan semangat belajar mereka sehingga 14 orang dari santri Kiai Affandi di Desa Trimoharjo ini berkenan pula mengikuti jejak gurunya untuk hijrah ke Desa Sukaraja.

Hijrahnya Kiai Affandi sekeluarga bersama rombongan santri yang berjumlah 14 orang dari Desa Trimoharjo ini menjadi momentum bagi berdirinya Pondok Pesantren Nurul Huda Sukaraja. Bertepatan tanggal 09 September 1980, Kiai Affandi memenuhi ajakan Haji Mustamar yang sebelumnya pernah mengantarkan Kiai Suhadi memberikan mauidzhah hasanah pada Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) di Masjid Desa Trimoharjo. Kehadiran Kiai Affandi ini selanjutnya mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat Desa Sukaraja yang pendidikan sebelumnya telah dirintis oleh Kiai Rubian dan Kiai M. Yusuf. Selain Haji Mustamar yang juga merupakan Bendahara Pengurus Masjid Desa Sukaraja, Haji Purbani selaku Ketua Pengurus Masjid Desa Sukaraja, Kiai Ali Hakim dan Ustadz Wasiman adalah tokoh Desa Sukaraja yang secara penuh lahir dan batin mendukung gerak perjuangan pendidikan Kiai Affandi. Bahkan, kedua tokoh terakhir merupakan sosok yang paling sering hadir di setiap langkah perjuangan Kiai Affandi.

Perjuangan Kiai Affandi untuk menumbuhkembangkan Pendidikan Salafiyah Plus lewat Pesantren Nurul Huda Sukaraja bukanlah upaya yang mudah. Selain mendapatkan dukungan, juga mendapatkan kritikan bahkan penolakan. Kritikan dari salah guru Kiai Affandi menitikberatkan keberadaan pendidikan formal dan umum yang dikhawatirkan dapat menggeser ruh pesantren yaitu pendidikan salafiyah atau pengajian kitab kuning. Sementara penolakan yang datang dari sekelompok kecil tokoh masyarakat Desa Sukarajaberujung pada teror psikis dan fisik yang menyasar keluarga dan kediaman Kiai Affandi. Penolakan ini utamanya karena keseriusan Kiai Affandi dalam menumbuhkembangkan Pesantren Salafiyah Plus dengan mendirikan unit pendidikan formal berupa Madrasah Tsanawiyah (MTs) Nurul Huda pada Tahun Pembelajaran 1982/1983 atau dua tahun setelah berdirinya Pesantren Nurul Huda Sukaraja.  Namun, kritikan dan penolakan ini direspon oleh Kiai Affandi secara lapang dada. Sebab Kiai Affandi menyadari bahwa gerakan Pendidikan Salafiyah Plus Pesantren Nurul Huda Sukaraja memang berada di luar tradisi pendidikan umumnya pesantren kala itu.

Pendidikan Salafiyah Plus merupakan gerakan Pesantren Nurul Huda Sukaraja dalam melestarikan tradisi pendidikan salafiyah yang diterapkan Pesantren Subulussalam Sriwangi sekaligus mengembangkan kualitasnya seperti yang diterapkan Pesantren Lirboyo Kediri.  Keberadaan Pesantren Subulussalam Sriwangi pada latar belakang Pesantren Nurul Huda Sukaraja dan kehadiran Pesantren Lirboyo Kediri pada latar depannya menumbuhkan kualitas kesadaran maksimal Pesantren Nurul Huda Sukaraja sebagai lokomotif Pesantren Salafiyah Plus di Provinsi Sumsel dan bahkan di wilayah Sumbagsel. Kualitas kesadaran maksimal yang muncul berkat dukungan optimal sosok tokoh kiai aktivis, organisatoris dan administrator handal. Adalah KH. Drs. Sholeh Hasan yang bersedia diajak Kiai Affandi untuk membantu mengembangkan Pesantren Nurul Huda Sukaraja.

Berdirinya MA pada tahun 1986, terbitnya Akta Notaris Pesantren Nurul Huda Sukaraja pada tahun 1988, bergabungnya Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah (MII) menjadi MI Nurul Huda Sukaraja pada tahun 1993, berdirinya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada tahun 1994, Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) pada tahun 1994, Ma’had Aly pada tahun 1994 dan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS) pada tahun 1997. Itu semua tak dapat terlepas dari peran Kiai Sholeh.Keberadaan Ma’had Aly dan PTAIS Nurul Huda Sukaraja ini adalah bukti terkemuka dari kiprah besar Kiai Sholeh dalam pengembanganPesantren Nurul Huda Sukaraja sebagai Pesantren Salafiyah Plus.

Keberadaan Ma’had Aly dan PTAIS ini merupakan salah satu indikator keberhasilan gerakan Pendidikan Salafiyah Plus Pesantren Nurul Huda Sukaraja periode empat puluh (40) tahun pertama. Bahkan, PTAIS Nurul Huda merupakan perguruan tinggi umum pesantren pertama di Sumbagselyang kemudian berubah format menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Nurul Huda pada tahun 1999 dan bertransformasi kembali sebagai Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Nurul Huda pada tahun 2007. Sebagai perguruan tinggi pesantren, STKIP Nurul Huda justru merupakan pelopor perguruan tinggi di wilayah OKU Timur, OKU Selatan, OKU, OKI, OI, Muara Enim dan Way Kanan.

Bentuk fisik dari kualitas transformasi Pendidikan Salafiyah Plus Pesantren ini, sekali lagi, merupakan bagian dari ketokohan Kiai Sholeh Hasan.Hingga beliau wafat pada tahun 2008, setahun setelah proses peresmian STIT menjadi STKIP Nurul Huda, Pesantren Nurul Huda Sukaraja semakin tampil sebagai lokomotif bagi gerakan transformasi sosial transmigran khususnya petani Jawa di Sumbagsel. GerakanPendidikan Salafiyah Plus Pesantren Nurul Huda Sukaraja yang dipimpinnya telah berhasil menjadikan OKU Timur sebagai lumbung pesantren serta warga Nahdlatul Ulama (NU) di Sumsel. Bahkan, gerakan pendidikan ini telah pula melahirkan elit-elit pemimpin daerah hingga mendudukkan Drs. HM. Syahri sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) OKU Timur dan H.M. Kholid Mawardi sebagai Bupati OKU Timur.

Transformasi berikutnya dari perjuangan Pesantren Nurul Huda Sukaraja kembali terjadi. Setelah 20 tahun lamanya kepemimpinan Pesantren dipercayakan kepada Kiai Sholeh Hasan, pada tahun 2008 Kiai Affandi  memimpin kembali Pesantren Nurul Huda Sukaraja. Pada periode ketiga kepemimpinan Pesantren Nurul Huda Sukaraja atau periode kedua kepemimpinan Kiai Affandi ini, transformasi yang progresif terkait peningkatan kuantitas dan kualitas gerakan Pendidikan Salafiyah Plus kembali terjadi. Kewajiban mondok di asrama bagi santri yang sempat mengendor, pada tahun 2010 kembali ditegakkan. Puncaknya, pada tahun 2012 didirikanlah Asrama Putri pada SMK Nurul Huda Sukaraja.

Terkait keamanan yang melemah dengan maraknya aksi pembegalan sepeda motor bahkan sampai menghilangkan nyawa korbannya di wilayah Buay Madang terkhusus kawasan Sukaraja dan sekitarnya, maka pada tahun 2013 dibangunlah Kampus C STKIP di Desa Tanah Merah Kecamatan Belitang Madang Raya OKU Timur. Pembangunan ini menandai pula berdirinya Pondok Pesantren NurulHuda II yang selain menaungi Kampus C STKIP Nurul Huda juga mengelola Sekolah Menengah Terpadu (SMT) Nurul Huda yang mengintegrasikan pendidikan salafiyah dengan pendidikan bahasa Arab dan Inggris. Sementara pada tahun 2015 Unit Pendidikan Takhasus dikembangkan di lokasi persawahan dengan nama Asrama Al-Umamy Pondok Pesantren Nurul Huda Sukaraja. Program yang konsentrasinya pada Tafaqquh Fiddin dan Tahfidzhul Quran ini mengintegrasikan kegiatan pendidikan sekolah dan asrama secara lebih intensif.

Pada tahun 2017, Pesantren Nurul Huda Sukaraja kembali meningkatkan kapasitasnya dengan mendirikan Pondok Pesantren Nurul Huda III. Pendirian cabang yang berlokasi di ibukota Kabupaten OKU Timur, Martapura ini ditandai dengan pembentukan kepanitiaan yang dipimpin oleh H. Imam Rodin, S.Ag., M.Pd. Penunjukan mantan Ketua Ikatan Alumni Nurul Huda (IKANUHA) yang juga mantan Ketua PCNU OKU Timur, mantan Pembantu Ketua III STKIP Nurul Huda dan mantan Ketua DPC PKB OKU Timur ini sebagai momentum bergeraknya regenerasi kepemimpinan Pesantren ini yang berbasis alumni. Mulai saat ini, digagas perubahan STKIP Nurul Huda menjadi IKIP Nurul Huda.

Pada tahun 2018, terjadi perubahan struktural di Pesantren Salafiyah Plus terbesar di Sumsel ini. Kyai Affandi selaku tokoh pendiri dan pengasuh Pesantren ini meremajakan kepengurusan Yayasan Pesantren ini. Beliau mundur dari Ketua Yayasan Pondok Pesantren Nurul Huda Sukaraja dan menunjuk alumni tertua, Drs. H. Tasdiq, M.Pd.I., sebagai penggantinya. Didampingi para yunior sebagai langkah jelas dan tegas untuk regenerasi kepengurusan Pesantren ini. Kyai Affandi sendiri menjadi Ketua Dewan Pembina dan para pengurus senior Yayasan Pesantren ini kemudian menjadi Anggota Dewan Pembinanya.

Langkah regenerasi dan kederisasi struktural Pesantren ini dilanjutkan pada tahun 2019. Kali ini dengan penyegaran kepemimpinan unit-unit di lingkungan Nurul Huda. STKIP Nurul Huda menjadi istimewa karena melalui langkah ini, Unit Pendidikan Tinggi Pesantren ini mulai dipercayakan kepada alumni. H. Imam Rodin, S.Ag, M.Pd., dipilih sebagai Ketua STKIP Nurul Huda dan fase baru STKIP Nurul Huda pun dimulai dengan mengundang tokoh nasional sebagai pembicara orasi ilmiah atau kuliah umum. Adalah Profesor Imam Suprayogo pada Sidang Senat Terbuka Wisuda STKIP Nurul Huda tahun 2019 menyampaikan dalam orasi ilmiahnya bahwa STKIP Nurul Huda sudah layak menjadi Universitas Nurul Huda.

Maka mulai saat itulah Kyai Affandi memerintahkan jajaran pengurus Yayasan dan pengelola STKIP Nurul Huda untuk secara lebih serius memperjuangkan perubahan bentuk STKIP Nurul Huda. Format yang dituju sudah Universitas Nurul Huda mengingat pertimbangan strategis maupun teknis. Hingga dibentuklah kepanitiaan khusus untuk itu.

Pada tahun 2020, Pesantren ini kembali mendapatkan kepercayaan masyarakat. Adalah masyarakat Desa Sukamulya, Kecamatan Lempuing, Kabupaten OKI, menghibahkan lahannya untuk pembangunan cabang Nurul Huda di OKI. Pada akhir tahun itu, dibentuk pula kepanitiaan pembangunan PPNH Sukamulya OKI. Ditargetkan pada tahun 2022 cabang Nurul Huda ketiga ini sudah dapat beroperasi. Sementara pada tahun 2021 ini, cabang kedua Nurul Huda atau PPNH Martapura sudah finishing pembangunan tahap kedua sarana fisiknya. Tahun Akademik 2021/2022 sudah mulai pula menerima peserta didik baru untuk Sekolah Dasar (SD) Alquraniyah dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Alquraniyah. Pada PPNH II ini juga akan didirikan Sekolah Teknologi Alquraniyah. Kini, Pesantren ini tengah meningkatkan perjuangannya dengan fokus pada upaya mengaktifkan kembali Ma’had Aly Nurul Huda, pembukaan Program Pascasarjana STKIP Nurul Huda Sukaraja berbasis Program Studi PAI dan transformasi STKIP menjadi Universitas Nurul Huda.

Kedatangan Pendiri

Sebelum di Sukaraja, menurut keterangan Kiai Affandi, dirinya telah pernah mendirikan Sekolah Pertama (SMP) Nurul Huda pada tahun 1979. SMP yang didirikan itu tidak diminati oleh masyarakat kemungkinan, menurut Kiai Affandi, karena dirinya orang baru. SMP itu tidak memungut biaya dan dalam kerangka coba-coba. Kiai Affandi pada saat itu bermitra dengan pak Pardima yang saat itu merupakan Kepala Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Muhammadiyah. Pak Pardima adalah perintis SPG tersebut. Upaya memperjuangkan pendidikan masyarakat dilingkungannya di Desa Trimoharjo cukup maksimal dililakukan oleh Kiai Affandi sebab disamping menyelegarakan pendidikan salafiyah Kiai Affandi juga telah berupaya menyelenggarakan pendidikan formal Tingkat Menengah Pertama.

Kiai Affandi sejak awal konsisten aktif menegakkan pendidikan yang terpadu. Perjuangan mengintegrasikan pendidikan salafiyah dengan pendidikan umum sejak di Trimoharjo. Komitmen itu terwujud dalam bentuk melayani pengajian santri desa di rumah orang tuanya malam hari dengan salah satu santrinya yang bernama Tasdiq. sementara siangnya Kiai mengajar di SPG Muhammadiyah yang kemudian oleh kepalanya Kiai diajak mendirikan SMP Nurul Huda. Nama Nurul Huda yang ditawarkan Kiai Affandi dipilih oleh H. Purbani, selaku pengurus Masjid Trimoharjo, saking lengketnya pilihan itu H. Purbani menamakan anak laki-lakinya yang baru lahir dengan nama Nurul Huda. Sejak awalnya orientasi pendidikan pesantren yang didirikan telah mengakomodir pendidikan formal dan mendapat respon yang kurang setuju, namun setelah terlihat manfaatnya, masyarakat yang kurang setuju atas pendirian pesantren itu juga menyelenggarakan pendidikan formal akhirnya dapat menerima.

Berdasrkan pengalamannya berjuang dalam pendirian sampai perkembangan Pesantren Nurul Huda Sukaraja, godaan yang paling besar itu, menurut Kiai Affandi. bukanlah berasal dari masyarakat luar melainkan datang dari orang dalam. Seperti waktu dirinya awal merintis perjuangan di Trimoharjo. Kiai diminta untuk memberi pengajian padahal Kiai tidak ada kepikiran kesitu sebab Kiai tidak ada hubungan dengan tokoh yang mengajaknya itu. Disitu bisa kita lihat bagaimana konsep kehati-hatian dalam berjuang Kiai Affandi menjadi prinsif perjuangan Kiai Affandi yang kuat hingga membuat masyarakat Desa Trimoharjo mendukungnya sehingga Kiai pun pindah dari Masjid Desa Trimoharjo yang merupakan medan perjuangan pendidikan dirinya. Adapun lamanya perjuangan Kiai Affandi di Masjid Desa Trimoharjo itu satu tahun lamanya.

Teknis perjuangan pendidikan Kiai Affandi di Masjid Trimoharjo adalah memberikan pengajian kitab kuning dengan metode pendidikan salafiyah menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar pengajaran kitab kuning. Hal mengingat masyarakat yang mengikuti pengajian adalah suku Jawa. Kiai Affandi memiliki kesadaran dalam memilih menggunakan bahasa yang lebih umum dapat diterima oleh masyarakat yang mengikuti pendidikan yang diselenggarakannya. dalam pengajarannya, Kiai Affandi juga mencoba menerangkan muatan pelajaran dari kitab yang dibacakan sehingga disukai oleh masyarakat. Sementara jumlah peserta didik yang mengikuti pengajian Kiai di Masjid Trimoharjo kala itu ada lima belas orang. Kiai memilih santri yang akan mengikuti pengajiannya dengan syarat utama lulus Madrasah Ibtidaiyah. Dimana dengan syarat ini santri yang akan mengikuti pengajian dengan Kiai otomatis telah menamatkan pendidikan Al Qur’an sehingga telah siap untuk mendapatkan pengajaran kitab kuning. Sejak di Trimoharjo, Kiai Affandi telah menghadapi dinamika berupa pro dan kontra dari masyarakat yang merespon upaya pendidikan yang diterapkannya. Dari Masjid Trimoharjo, karena godaan, Kiai Affandi memindahkan kegiatan pendidikan kerumah orang tuanya.

Masyarakat, berdasarkan keterangan Kiai Affandi, kemudian membuat mushola di lokasi rumah orang tuanya yang kemudian diisi oleh santri putra yang telah mengikuti pengajian sebelumnya dengan Kiai Affandi di Masjid Desa Trimoharjo. Pada tahun berikutnya anak putri juga ikut ngaji bahkan sampai punya cita-cita untuk mengaji dengan Kiai Affandi hingga tamat Alfiyah. Namun ternyata anak putri tersebut dinikahkan oleh orang tuanya, hingga membuat anak tersebut menjadi bimbang. Kiai kemudian diftnah telah menyebabkan anak bersangkutan tidak nurut dengan orang tuanya karena masih menginap tiap malamnya dirumah orang tua Kiai. Fitnah itu kembali membenturkan Kiai Affandi dengan tokoh yang mengajaknya berjuang merintis pengajian di Masjid Desa Trimoharjo hingga kemudian membuat Kiai harus memilih memindahkan pengajian yang diselenggarakannya ke rumah orang tuanya.

Kiai akhirnya berpikir ulang untuk tetap meneruskan perjuangannya di Desa Trimoharjo mengingat resistensi yang berakar dari ketidaksukaan dari seorang tokoh desa yang merupakan imam Masjid akan pola gerakan perjuangan Kiai. Kejadian itu membuat Kiai mengingat tawaran yang pernah disampaikan kepadanya oleh Kiai Suhadi dan Haji Mustamar. Tawaran itu diungkapkan kepada Kiai sewaktu penyelenggaraan PHBI di Masjid Trimoharjo. Kala itu Kiai Affandi mengundang Kiai Suhadi untuk memberikan pengajian. Kiai Suhadi ternyata diantar Haji Mustamar. Usai pengajian , ternyata Kiai Suahadi mengajak Kiai Affandi untuk pindah ke Desa Raman Agung sebab Kiai Suhadi sudah mendirikan Madrasah Tsanawiyah disana dan menurut Kiai Suhadi, Kiai Affandi termasuk tenaga yang kompeten untuk itu. Selain diajak pindah oleh Kiai Suhadi, Kiai Affandi juga ditawarkan oleh Haji Mustamar untuk pindah ke Desa Sukaraja kalau Kiai Affandi tidak jadi pindah ke Desa Raman Agung tempat Kiai Suhadi mendirikan MTs.

Dalam konteks ini, Haji Mustamar adalah tokoh yang berjasa dalam menghubungkan Kiai Affandi dengan Desa Sukaraja. Dengan tawaran Haji Mustamar itu, Kiai Affandi Akhirnya juga mengunjungi Desa Sukaraja setelah setelah sebelumnya melihat Desa Raman Agung. Kedatangan Kiai Affandi ke Desa Sukaraja kali pertama ini dalam rangka survey dan langsung mengajak santri-santri didikannya, termasuk Tasdiq. Dalam memutuskan untuk pindah ke Desa Sukaraja Kiai Affandi melibatkan pertimbangan santrinya dimana setelah menginap di Masjid Desa Sukaraja Kiai meminta pendapat para santrinya bagaimana kalau mereka pindah ke Sukaraja dan mereka pun menyetujuinya.

Kiai Affandi merasakan lebih tertarik pindah ke Desa Sukaraja dari pada ke Raman Agung. Kiai Affandi menyatakan bahwa perasaan atau instingnya sendiri meminta untuk pindah ke Sukaraja. Kiai Affandi dalam upaya menentukan lokasi pindah tempat berjuang juga telah pula sempat melakukan survey lokasi ke Desa Raman Agung. Namun, belum sempat memasuki lokasi MTs yang disebutkan oleh Kiai Suhadi. Kiai baru memasuki desa bersama Haji Sukamto, adiknya dan sudah merasa tidak tertarik untuk pindah ke desa itu.

Berdasarkan prinsif perjuangan yang dipegang Kiai, bahwa apa yang secara fisik dari desa itu tampak wah, belum tentu menandakan bahwa masyarakatnya memiliki semangat yang dapat mendukung tujuan perjuangan pendidikan yang akan diteruskan Kiai. Masyarakat Desa Raman Agung menurut Kiai kala itu terlihat mampu secara ekonomi dimana bangunan perumahan mereka yang bagus-bagus. Sementara dalam pandangan Kiai Affandi kala itu, masyarakat Desa Sukaraja masih sederhana. Meski demikian, menurut Kiai Affandi, dirinya justru merasakan lebih tentram untuk menetap di Desa Sukaraja dari pada di Desa Raman Agung.

Kiai mengiyakan bahwa perasaannya sempat bergetar saat kali pertama berada di Masjid Desa Sukaraja, dimana Kiai Affandi sempat menginap disana tatkala Kiai melakukan survey lokasi bersama rombongan santrinya. Kiai Affandi merasakan tentram ketika berada di Masjid Desa Sukaraja itu. Perasaan inilah yang membuatnya perlu menanyakan kepada rombongan santri yang mengikutinya dan ternyata banyak yang setuju.

Kiai Affandi lalu bertemu dengan Haji Mustamar dan kemudian menyimpulkan bahwa bulan-bulan yang akan datang dirinya siap pindah ke Desa Sukaraja. Tujuh bulan sebelum September, diperkirakan pada bulan Februari atau maret pada tahun 1980 itu adalah waktu Kiai Affandi mengajak santri-santrinya dari Trimoharjo untuk survey ke Desa Sukaraja dan bertemu dengan Haji Mustamar. Setelah Idul Fitri barulah Kiai pindah ke Desa Sukaraja. Persisnya pada September 1980 dimana sewaktu pindah ke Sukaraja itu, anak tertua Kiai baru berusia 50 hari. Lailatul Fitriyah atau dipanggil Fitri kelahiran Desa Trimoharjo tanggal 15 bulan juli tahun 1980.

Fase Pendirian

Sewaktu hijra ke Desa Sukaraja pada tahun 1980, Kiai Affandi bersama rombongan 14 orang santrinya yang telah diajarnya sejak tahun 1978 dalam program Madrasah Diniyah dan keluarganya yaitu istrinya, Hj. Umi Fadhilah dan anak sulung Lailatul Fitriyah yang baru berusia 2 bulan. 14 orang santri itu berniat untuk melanjutkan pendidikan dengan Kiai sehingga mereka memutuskan untuk ikut berjung bersama Kiai ke Desa Sukaraja. Adapun proses bagaimana para santri dari Trimoharjo itu menjadi meneruskan program pendidikan mereka dengan Kiai yang pindah ke Desa Sukaraja adalah mulai dengan Kiai memberikan nasehat atau orientasi (bimbingan dan konseling) langsung kepada mereka.

Dalam nasehat itu Kiai berupaya membangkitkan cita-cita mereka. Upaya ini dilakukan oleh Kiai mengingat Kiai amat menyadari kenyataan yang terjadi atau dialami dimana dengan keadaan yang saat itu terasa sulit, akhirnya banyak yang putus sekolah karena biaya masuk yang tidak terjangkau. Memang menurut Kiai situasi dan kondisi yang dialami transmigran di masa itu dimana banyak anak yang terbengkalai pendidikannya karena tidak bisa meneruskan kejenjang selanjutnya. Apalagi pada tahun-tahun itu transmigran masih menanam padi satu kali tanam dalam tempo setahunnya. Padahal, ekonomi mereka kala itu hanya bersumber dari pertanian padi dan persawahan. Kiai akhirnya berinisiatif memberi mereka, anak didiknya yang tak lain juga anak-anak keluarga transmigran itu, jalan keluar yang ekonomis, terutama kepada anak-anak yang sudah menamatkan Al Quran.

Waktu awalnya, Kiai menerapkan Tsanawiyah Diniyah hanya dua tahun, kemudian langsung Alfiyah dengan Balagho. Tahun 1982 Kiai belum memasukkan Mata Pelajaran Balagho. Sementara pada tahun 1983-1984 Kiai sudah mengantar santrinya yang bernama Tasdiq itu untuk melanjutkan studinya ke Pesantren Lirboyo Kediri. Ini sesuai dengan janji Kiai kepada mereka santrinyayang dari Trimoharjo itu. “Pokoknya enam tahun kamu belajar dengan saya, saya buatkan Ijazah Aliyah Diniyah,” tegas Kiai. Seperti santri yang bernama Tasdiq itu menurut Kiai telah belajar di Sukaraja selama 4 tahun dan sebelumnya di Belitang (persisnya Desa Trimoharjo) telah belajar selama 2 tahun. Kiai juga menegaskan bahwa Pesantren Lirboyo Kediri itu santri tidak perlu menunjukkan ijazah atau surat tanda bukti telah lulus mengikuti pendidikan. Karena yang dilihat dari calon santri adalah kemampuan mereka membaca kitab kuning sebagai pokok sumber belajar pendidikan salafiyah.

Kiai menunggu selama satu minggu dalam proses pendaftaran santrinya itu. dimana santri yang diantar ke Pulau Jawa yaitu Pesantren Lirboyo itu terdiri dari 2 orang santri yaitu Tasdiq dan Iskandar. Mereka berduapun berhasil masuk ke Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Pesantren Lirboyo Kediri. Awalnya Kiai berpikir kedua santrinya itu bakal tidak lulus mengingat Mutu pendidikan Pesantren Nurul Huda Sukaraja yang baru mulai itu jika dibandingkan dengan mutu pendidikan yang duterapkan puluhan taahun di Pesantren Lirboyo jelassang berbeda jauh di bawahnya.

Pada proses berikutnya, santri yang bernama Tasdiq itu berhenti kuliah satu tahun untuk menyelesaikan Uqudul Jumannya dulu. Sementara santri yang bernama Iskandar justru Uqudul Jumannya yang berhenti dan tidak diteruskan lagi.

Sementara itu Kiai sendiri belum memberitahu keluarga santri yang bersangkutan. Saat itulah Kiai dengan mengajak salah satu tokoh yang mendampingi Kiai dalam pendirian Pesantren Nurul Huda Sukaraja, Wasiman. Tokoh yang terhitung gigih menjadi teman Kiai berjuang dalam perintisan pembangunan pendidikan Pesantren Nurul Huda Sukaraja yang merupakan penduduk Desa Sukaraja. Kiai mengajak Wasiman untuk pergi ketempat kediamannya orang tua santri yang bernama Tasdiq yang berada di sebelah Sungai Macak yaitu sebuah sungai yang terletak di dekat daerah Trimoharjo dan Sriwangi pada tahun 1984.

Sesampai disana Kiai melihat kondisi yang cukup ironis secara ekonomi dimana Kiai kemudian merasa seakan berat untuk mengungkapkan maksud dan tujuan kedatangannya. Namun, karena pertimbangan kedepannya, akhirnya Kiai memilih untuk berterus terang kepada wali dari santrinya itu dengan menyatakan bahwa anaknya telah diterima di perguruan tinggi yaitu Universitas Tribakti Pesantren Tribakti Pesantren Lirboyo Kediri. Dan kedua orang tua dari santri yang bernama Tasdiq itu terlihat bangga dan bahagia dengan pencapaian yang telah berhasil dicapai oleh putranya itu. Kiai menjelaskan bahwa selama ini santrinya itu sambil mondok juga bekerja membantu keperluan pesantren dan hasilnya ditabungkan untuk digunakan dalam menlanjutkan pendidikannya.

Sementara itu terkait proses pembangunan Pesantren Nurul Huda Sukaraja di masa awal yaitu periode 1980 sampai 1984 menurut Kiai sudah mulai pembangunan fisik. Dimana seperti yang diterapkan di Pesantren Subussalam Sriwangi, juga ada praktek kegiatan seperti roan. Dalam rangka pembangunan Gedung Asrama Pangeran Diponegoro di Komplek Asrama Putra, dengan cara melibatkan santri dan masyarakat desa.

Pada tahun 1984, Kiai Affandi telah mendirikan Madrasah Tsanawiyah Pesantren Nurul Huda Sukaraja. Ketertarikan masyarakat Desa Sukaraja dengan berdirinya MTs di Pesantren Nurul Huda ditegaskan oleh kepulangan anak-anak Desa Sukaraja yang telah studi di luar untuk kembali dan masuk Di Mts Nurul Huda Sukaraja. Padahal, sebelumnya, mereka telah studi di pesantren lain seperti di Pesantren Subussalam Sriwangi dan Pesantren Darul Huda Lubuk Harjo. Bahkan ada santri yang dari Bengkulu pun ikut pulang dan masuk ke Mts Nurul Huda Sukaraja.

Pendirian Mts Nurul Huda pada tahun Ajaran 1982/1983 merupakan kejutan bagi dunia pendidikan di OKU Timur kala itu sebab seperti di Pesantren Sriwangi maupun di Pesantren Lubuk Harjo, yang diasuh oleh guru-guru Kiai Affandi, belum ada yang mendirikan MTs seperti di Pesantren Nurul Huda Sukaraja. Karena Kiai mengelola kebijakan pendidikannya dengan mendudukkan murid-muridnya di kelas I,II, dan III dengan pertimbangan usia dan kemampuan, serta keikut sertaan mengaji dengan dirinya dan kompetensi baca kitab kuning menjadi bagian dalam pertimbangan itu. Maka dari itu ditahun pertama, Menurut Kiai Affandi, Kelas III MTs Nurul Huda Sukaraja telah Berjumlah 16 orang santri. Namun 16 orang santri itu menyusut menjadi 4 orang santri, hal ini dikarenakan adanya fitnah dari sekelompok masyarakat pada MTs Nurul Huda Sukaraja. Isu utamanya adalah mengenai masuknya mata pelajaran umum dalam hal ini Bahasa Inggris kedalam kurikulum pendidikan Mts Nurul Huda Sukaraja. Kelompok itu mengembangkan pemikiran dan gerakan menyerang keberadaan Mts Nurul Huda Sukaraja dengan menggunakan pesan bahwa Bahasa Inggris yang diajarkan di MTs Nurul Huda Sukaraja itu tidak akan menjadi pertanyaan di dalam Kubur nantinya.

Sehingga membuat anak-anak Desa Sukaraja yang telah mengikuti pendidikan diniyah salafiyah dan pendidikan formal di Pesantren Nurul Huda Sukaraja yang dirintis oleh Kiai Affandi itu berdampak mental. Karena adanya provokasi tersebut, mereka akhirnya tidak sekolah juga tidak mengaji dengan Kiai Affandi. Pemikiran ekstrim itu menyebabkan munculnya respon negatif terhadap pendidikan formal yang diselenggarakan Pesantren Nurul Huda Sukaraja hingga berujung mundurnya anak-anak desa. Masyarakat ekstri itu menurut Kiai mempunyai memikiran bahwa yang namanya pendidikan Pesantren itu adalah mengaji, mondok, dan diniyah. Artinya tidak boleh dicampur dengan apapu juga. Sementara Kiai Affandi berprinsif dalam pendidikan semua ilmu adalah sama, milik Allah SWT. Walau Kiai Affandi sudah memberikan penjelasan terhadap mereka, namun pada akhirnya Kiai memilih untuk tidak memaksa dan bersikap pasrah sehingga merasa tidak perlu untuk bertengkar dengan kelompok yang tidak setuju itu.

Prinsif pendidikan formal sebagai pintu masuk pendidikan diniyah salafiyah sebagai landasan nilai pendidikan Pesantren Nurul Huda Sukaraja. Seperti kebijakan kewajiban tamat Aliyah atau Imrithy bagi anak Desa Sukaraja untuk lulus pada MA atau MTs di Pesantren Nurul Huda Sukaraja sebagai salah satu contohnya. Prinsif pendidikan seperti ini bagi Kiai Affandi adalah pondasi pendidikan Pesantren Nurul Huda Sukaraja sampai sekarang.

Hingga pada tahun 1986 dimana saat itu Kiai Sholeh ke Sukaraja untuk bergabung di Pesantren Nurul Huda Sukaraja dan menjadi mitra Kiai dalam mengembangkan pendidikan, kelembagaan dan bangunan Pesantren Nurul Huda Sukaraja. Sebelum Kiai Sholeh datang, menurut Kiai tokoh yang paling intens bersama dirinya dalam memperjuangkan berdirinya Pesantren Nurul Huda Sukaraja adalah Kiai Ali Hakim. Respon negatif sebagian kecil masyarakat terhadap upaya Kiai Affandi menyelenggarakan pendidikan formal di Pesantren Nurul Huda Sukaraja memang semakin menjadi. Dalam sebuah forum yang dihadiri tokoh masyarakat yang aktif terlibat langsung mendampingi perjuangan, tokoh yang memfasilitasi maupun tokoh yang mendukung serta tokoh yang menolak , Kiai Affandi sempat menyatakan akan membubarkan MTs Nurul Huda Sukaraja yang telah berjalan program pendidikannya dan bahkan telah pula mengeluarkan lulusan itu.

Pernyataan Kiai Affandi yang akan membubarkan MTs justru mendapat penolakan dari salah seorang kepala dusun yang bernama Pak Ruslan. Tokoh ini justru keberatan dengan pembubaran MTs jika benar-benar terjadi. Dengan respon itu, justru menegaskan langkah Kiai untuk meneruskan penyelenggaraan pendidikan Mts Nurul Huda Sukaraja semakin mendapat dukungan yang jelas dan tegas. Kiai mengakui bahwa dirinya memang membuat pernyataan seperti itu demi untuk menegaskan dukungan. Hal mengingat semakin gencarnya gerakan yang dilakukan oleh segilintir masyarakat dalam menolak gerakan pengembangan pendidikan Pesantren Nurul Huda Sukaraja dengan penyelenggaraan program pendidikan formal yang memasukkan mata pelajaran umum dalam pendidikan Pesantren Nurul Huda Sukaraja. Gerakan penolakan yang tidak hanya disampaikan secara verbal atau lisan, tetapi juga secara mental dan anarkis.

Teror fisik dan psikis terhadap Kiai Affandi dan keluarganya terkait upaya perjuangan pengembangan Pesantren Nurul Huda Sukaraja dan pendidiknya formal berikut pemberian mata pelajaran umumnya di Pesantren Nurul Huda Sukaraja. Bentuk teror fisik itu adalah sampai kepada pembakaran rumah tempat tinggal Kiai Affandi. Puncak teror fisik terhadap Kiai Affandi dan keluarga ini terjadi pada Bulan Ramadhan tahun 1986. Teror yang dialami Kiai Affandi ini juga berbentuk psikis atau mental dalam bentuk serangan mental dan yang terkena istri Kiai Affandi. Istri Kiai selama tiga tahun mengalami sakit. Keadaan itu menimbulkan konflik batin bagi Kiai karena Kiai sudah mendirikan MTs Nurul Huda Sukaraja. Santrinya yang bernama Tasdiq dan Iskandar sudah melanjutkan pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri. Kiai menyadari bahwa kondisi istrinya yang demikian itu adalah godaan baginya untuk mundur dari perjuangannya mendirikan Pesantren Nurul Huda Sukaraja.

Sadar akan hal itu, setelah mengikuti kemauan istrinya yang menurut Kiai tidak ada kesimpulannya terkait perjuangan mereka, Kiai lalu mengambil sikap tegas dengan menyatakan bahwa dirinya tidak akan pidah dari Sukaraja. Baru setelah Kiai menyatakan sikapnya itulah, istrinya kemudian menjadi kuat kembali mentalnya dan berangsur pulih. Kiai mengakui dalam menghadapi situasi dan kondisi yang demikian terutama yang dialami oleh istrinya, Kiai juga sempat berobat.

Fase Pengembangan

Berdasarkan konstruksi penjelasan Kiai Affandi, sejak tahun 1986 adalah fase baru Pesantren Nurul Huda Sukaraja setelah fase berdirinya dari tahun 1980 hingga 1986. Sejak tahun 1986 ini fase pengembangan Pesantren Nurul Huda Sukaraja dimulai yang ditandai dengan bergabungnya Kiai Shaleh Hasan. Bergabungnya Kiai Shaleh Hasan ke Pesantren Nurul Huda Sukaraja dikarenakan Pesantren Nurul Ilham Pulau Negara, tempat awal Kiai Sholeh mengabdi di Sumatera, sudah tidak ada santrinya. Ipar Kiai Shaleh, menurut Kiai Affandi, yang bernama Walidin pindah dari Pesantren Nurul Ilham Pulau Negara ke Pesantren Nurul Huda Sukaraja dikarenakan Kiai Affandi sudah mendirikan MTs Nurul Huda Sukaraja. Karena kondisi itu Kiai Shaleh mulai mempertimbangkan untuk juga pindah ke Pesantren Nurul Huda Sukaraja.

Sebelum, sewaktu Kiai Shaleh masih bertugas di Pesantren Nurul Ilham Pulau Negara, Kiai Affandi, telah sering mengunjungi Kiai Shaleh. Hal ini, sebagaimana dituturkan Kiai Affandi, mengingat Kiai Shaleh merupakan senior Kiai Affandi di Pesantren Lirboyo Kediri. Tak hanya itu, adik Kiai Shaleh yang bernama Zainudin juga merupakan teman sekelas Kiai Affandi. Relasi antara kedua Kiai ini, dengan titik kontak berupa Alumni Pesantren Lirboyo Kediri, kedekatan sebelumnya Kiai Affandi dengan Kiai Shaleh dan semangat mengabdi lewat Pesantren di OKU Timur, kemudian terbangun. Ditambah lagi dengan pengalaman Kiai Shaleh dalam berjuang mengembangkan Pesantren Nurul Ilham Pulau Negara dan kebutuhan Kiai Affandi untuk mengembangkan pendidikan Pesantren Nurul Huda Sukaraja.

Sehingga saat Kiai Affandi bersiap untuk mendirikan Madrasah Aliyah Nurul Huda Sukaraja berdasarkan tuntutan kebutuhan santrinya yang telah lulus dan akan lulus dari MTs Nurul Huda Sukaraja, Kiai Affandi meminta Pak Wasiman yang menurut Kiai sudah siap untuk menggantikannya sebagai kepala MTs Nurul Huda Sukaraja. Pendirian MA Nurul Huda Sukaraja ini oleh Kiai Affandi dilakukan berdasarkan kebutuhan anak-anak lulusan MTs Nurul Huda Sukaraja sendiri. Ini terutama bagi anak-anak Desa Sukaraja yang karena persoalan ekonomi tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Seperti santri yang bernama Mu’arif, yang tidak bisa melanjutkan studinya ke MAN Gumawang seperti teman-temannya sesama anak Desa Sukaraja lulusan MTs Nurul Huda Sukaraja. Santri ini menurut Kiai Affandi, ditampung oleh dirinya dengan syarat yang penting mau belajar. Kepada santri inilah Kiai Affandi berjanji akan mendirikan MA Nurul Huda Sukaraja dan santri Mu’arif kalau bisa langsung. Seperti yang dilakukan kepada santri yang bernama Tasdiq di saat mendirikan MTs Nurul Huda Sukaraja, juga Kiai dudukan di kelas III.

Pola demikian ini tampaknya merupakan pola implementasi kebijakan atau politik pendidikan yang khas diterapkan oleh Kiai Affandi. Kiai Affandi bahkan menegaskan sendiri dimana dalam menyemangati santrinya, Kiai Affandi berjanji untuk mengadakan satuan pendidikan sendiri bagi santrinya yang terbatas ekonominya itu dan janji ini terus diperjuangkan Kiai hingga dapat terwujud. Selain santri yang bernama Mu’arif, menurut Kiai, santrinya yang mendapat kondisi seperti ini juga santri yang bernama Naim. Proses ini berlangsung pada tahun 1985, dimana rencananya, menurut Kiai Affandi, terkait pendirian MA Nurul Huda Sukaraja itu dirinya yang akan memimpin langsung.

Sementara MTs Nurul Huda Sukaraja kepemimpinannya akan diteruskan oleh pak Wasiman. Ternyata untuk hal ini Pak Wasiman tidak bersedia hingga akhirnya Kiai berpikir tidak mungkin jika dirinya merangkap. Apalagi Kiai Affandi juga harus memberikan pengajian dengan santrinya pada malam hari. Ini tentu bakal repot sekali bagi dirinya sehingga berdasarkan tuntutan keadaan diatas, Kiai Affandi berpikir untuk mencari jalan keluar dan menyimpulkan kemudian untuk mengajak Kiai Shaleh yang sudah tidak ada lagi aktivitas pendidikannya di Pesantren Nurul Ilham Pulau Negara karena sudah tidak ada santrinya. Kiai Affandi lalu sowan ke Kiai Shaleh. Konteksnya, sebagaimana ditegaskan oleh Kiai Affandi, dirinya mengajak Kiai Shaleh untuk mendirikan MA Nurul Huda Sukaraja. Kiai Affandi, secara teknis, tidak mengajak Kiai Shaleh pindah ke Sukaraja. Hal ini ditekankan oleh Kiai Affandi sebagai langkah pilihannya, yang menurut, dimana dengan mengajak Kiai Shaleh mendirikan MA Nurul Huda Sukaraja adalah lebih strategis menurut Kiai Affandi bagi upaya pengembangan pendidikan Pesantren Nurul Huda Sukaraja. Kiai Affandi menyadari bahwa dengan latar Kiai Shaleh yang datang ke Sumatera karena ikatan dinas sebagai Pegawai Negeri Sipil tentu akan lebih leluasa bergerak jika diajak dengan konteksnya mendirikan MA Nurul Huda Sukaraja.

Akhirnya Kiai Shaleh mulai melihat-lihat Pesantren Nurul Huda Sukaraja pada tahun 1985 setelah Kiai Affandi berkonsultasi dengannya tentang pendirian MA Nurul Huda Sukaraja itu. Pada tahun 1985 itu telah ada kurang lebih 10 anak yang menurut Kiai Affandi, dengan judul Sekolah Penampungan MA yang diasuh olehnya dan dengan dasar itulah Kiai Affandi berani menghubungi Kiai Shaleh. Dalam konteks ini kemudian, Kiai Affandi memberi tahu Kiai Suhadi, tokoh yang diposisikan sebagai senior dan juga sesepuhnya yang telah mempengaruhi dirinya untuk pindah dari Desa Trimoharjo hingga ke Desa Sukaraja, bahwa dirinya telah mengajak Kiai Shaleh untuk mendirikan MA Nurul Huda Sukaraja. Kiai Affandi dalam hal ini meminta pertimbangan Kiai Suhadi tentang upayanya itu. Kedatangan Kiai Affandi ini juga dalam konteks memohon pertimbangan sebab Kiai Suhadi telah lebih dahulu mendirikan MA namun anak-anak dari Desa Sukaraja tidak dapat kesana karena kendala biaya. Kiai Affandi kembali menegaskan bahwa upayanya memperjuangkan kelanjutan studi santrinya itu adalah prinsip pendidikan yang dipegangnya. Bagi Kiai Affandi, santri atau peserta didik itu tak ubahnya merupakan anaknya sendiri.

Memang Kiai Affandi dalam berjuang selalu melibatkan tokoh sesepuh untuk meminta restu. Sama halnya dengan waktu akan mendirikan Pesantren Nurul Huda Sukaraja beliau sowan ke Kiai Rusydi.

Proses Kiai Affandi merangkul Kiai Shaleh bergabung guna mengembangkan Pesantren Nurul Huda Sukaraja ini ternyata memunculkan dinamika internal dan eksternal yang progresif. Dinamika kehadiran Kiai Shaleh Hasan sebagai kepala MANH Sukaraja pada tahun 1986 dan selanjutnya diikuti dengan pengurusan badan hukum Pesantren Nurul Huda Sukaraja sebagai Yayasan Pesantren Nurul Huda Sukaraja pada tahun 1988 dimana Kiai Shaleh didaulat menjadi ketua Yayasan sekaligus Pimpinan Umum Pesantren Nurul Huda Sukaraja secara bertahap dan berkesinambungan.

Apalagi dengan bergabungnya Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah (MII) Sukaraja ke lingkup Pesantren Nurul Huda Sukaraja. Bergabungnya MII Sukaraja ini dan menjadi MINH Sukaraja adalah berdasarkan peraturan pemerintah yang menyatakan bahwa setiap lembaga pendidikan swasta harus berada dibawah naungan badan hukum yang berupa yayasan. Pada tahun 1994 kegiatan pengembangan dilanjutkan dengan pendirian SEKOLAH Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Nurul Huda Sukaraja dengan jurusan Bisnis dan Manajemen (Bisman) dengan program Studi Keahlian Administrasi Perkantoran (AP) dan Pemasaran yang kemudian berubah menjadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Nurul Huda Sukaraja dengan program AP, Akuntansi dan Multimedia. Pada tahun 2013, unit pendidikan juga mendirikan Asrama Putri SMK-NH Sukaraja. Selanjutnya berdiri pula pada tahun 1995 Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) pada MANH Sukaraja. MAK ini sejatinya adalah metamorfosis Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang disederhanakan oleh Departemen Agama RI agar memang bisa dioperasikan di pesantren-pesantren sebagai upaya kaderisasi dasar ulama intelektual dan intelektual ulama. Progam yang mewajibkan pengadaan asrama khusus bagi pesertanya ini menjadikan Pesantren Nurul Huda Sukaraja turut pula menyediakan asrama khusus baik di komplek Asrama Putra Pesantren Nurul Huda Sukaraja dan komplej Asrama Putrinya. Sejak tahun 2007 program ini secara nasional akhirnya ditiadakan.

Tahun 1995 ini pula Pesantren Nurul Huda Sukaraja mendirikan kedua unit pendidikan tingginya yaitu Ma’had ‘Aly sebagai unit pendidikan tinggi pendidikan diniyah salafiyah bekerja sama dengan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Fatah dan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dengan dua jurusan yaitu Dakwah dan Tarbiyah. Karena sedikitnya peminat Jurusan Dakwah, PTAI ini akhirnya berubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT). Unit ini berada di bawah kordinasi Kordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais). Sementara Ma’had’Aly beroperasi hingga tahun 2011 dan untuk sementara hingga saat ini masih vakum. Berawal dari kesediannya memenuhi permintaan Kiai Affandi untuk memimpin langsung Madrasah Aliyah (MA) Nurul Huda Sukaraja, Kiai Sholeh juga dipercaya untuk memimpin Pesantren Nurul Huda Sukaraja. Dengan kepercayaan yang penuh ini, Kiai Sholeh muncul dengan peran yang amat signifikan dalam mengembangkan Pesantren Nurul Huda Sukaraja sebagai Pesantren Salafiyah Plus terbesar di Provinsi Sumsel bahkan di wilayah Sumbagsel. Berdirinya MA pada tahun 1986, terbitnya Akta Notaris Pesantren Nurul Huda Sukaraja pada tahun 1988, bergabungnya Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah (MII) menjadi MI Nurul Huda Sukaraja pada tahun 1993, berdirinya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada tahun 1994, Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) pada tahun 1994, Ma’had ‘Aly pada tahun 1994 dan Perguruan Tingggi Agama Islam Swasta (PTAIS). Yang merupakan Perguruan Tinggi Pesantren pertama di Sumbagsel, PTAIS Nurul Huda Kemudian berubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Nurul Huda pada tahun 1999 dan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Nurul Huda pada tahun 2007 yang merupan pelopor perguruaan tinggi di wilayah OKU Timur, OKU Selatan, OKU, OKI, OI, Muara Enim dan Way Kanan. dan sekarang dengan diterterbitkannya SK perubahan status STKIP Nurul Huda menjadi Universitas oleh Kementerian, Kebudayaan. Riset dan Teknologi, maka resmilah STKIP NH Sukaraja Menjadi UNH Sukaraja.

Fase Pemekaran

Keberadaan Pesantren Nurul Huda Sukaraja sebagai lembaga penyelenggara model tradisional pendidikan agama Islam inilah yang justru memungkinkan STIT Nurul Huda didukung penuh oleh pemerintah sehingga dapat bertranformasi menjadi STKIP Nurul Huda Sukaraja. Pada tahun 2007, STIT Nurul Huda Sukaraja bertranformasi menjadi satu dari sedikit STKIP di Indonesia yang memiliki Program Studi Agama Islam didalamnya selain PAI, di STKIP Nurul Huda Sukaraja ini juga dibuka Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Pendidikan Bahasa Indonesia, Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Ekonomi Akuntansi dan Pendidikan Fisika. Dengan keadaan diatas ditambah lagi dengan wafatnya Kiai Sholeh pada tahun 2009, kepemimpinan Pesantren Nurul Huda Sukaraja dikembalikan kepada Kiai Affandi. Sehingga selain sebagai pendiri dan pengasuh, Kiai Affandi juga berperan sebagai Pimpinan Umum Pesantren ini. Didukung oleh badan pengurus harian Yayasan Pondok Pesantren Nurul Huda Sukaraja yang telah amat berpengalaman ditempah oleh Kiai Sholeh, Pesantren Salafiyah Plus terbesar di Sumbagsel ini mengalami fase selanjutnya, yaitu fase pemekaran. Ditandai dengan pembelian dan pengalihan kepemilikan lahan-lahan bakal calon lokasi pengembangan cabang Pesantren ini di Desa Kota Baru Kecamatan Martapura dan Desa Tanah Merah Kecamatan Belitang Madang Raya, keduanya berada di OKU Timur. Serta lahan di Kecamatan Kubay Kabupaten Muara Enim yang telah dipasrahkan pengelolaannya kepada Pesantren Nurul Huda Sukaraja.

Langkah pemekaran dengan pembentukan cabang Pesantren ini dimulai dengan pembangunan Pondok Pesantren Nurul Huda Sukaraja II yang berlokasi di Desa Tanah Merah. Langkah yang diinisiasi oleh Kiai Affandi pada tahun 2013 ini terutama sekali berangkat dari kenyataan akan maraknya tindakan kriminalitas perampasan sepeda motor (begal/gerandong) terhadap Mahasiswa STKIP Nurul Huda, baik yang beraktivitas di Kampus A maupun Kampus B yang keduanya berada di Desa Sukaraja. Untuk itulah Kiai Affandi memerintahkan internal Pengurus Yayasan Pondok Pesantren Nurul Huda Sukaraja untuk melakukan pencarian lokasi pembangunan dikawasan Belitang dan sekitarnya. Atas upaya Haji Cholid Mawardi, didapatlah lokasi tanah yang tadinya merupakan arena balap sepeda motor di Desa Tanah Merah.

Dengan rencana pembangunan Kampus C STKIP Nurul Huda, Kiai Affandi juga memerintahkan untuk dibangun sekalian di lokasi ini Sekolah Menengah Pertama (SMP) Terpadu dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Terpadu. Sehingga dengan keberadaan unit-unit pendidikan ini dijadikan komplek baru sebagai Pondok Pesantren Nurul Huda Sukaraja (PPNH) II. Pendirian SMPT Nurul Huda dan SMAT Nurul Huda ini juga inisiatif Kiai Affandi untuk menjembatani animo masyarakat terutama masyarakat kawasan Belitang dan sekitarnya yang merupakan kawasan sentra ekonomi OKU Timur. Animo masyarakat yang menginginkan akses Sekolah umum tetapi memiliki bobot lebih dalam pendidikan agama dan keagamaan Islam. Pembukaan unit-unit yang juga menunjukkan fokus Pesantren Nurul Huda sebagai lembaga pendidikan Salafiyah Plus ini juga terbukti diminati oleh masyarakat.

Dalam menegaskan identitasnya sebagai Pesantren Salafiyah Plus ini, Pesantren Nurul Huda Sukaraja sebelumnya juga telah mengembangkan sistem pendidikan satu atap unit asrama dan unit sekolah. Sistem ini telah diuji dan berhasil dilakukan pada SMK Nurul Huda Sukaraja dengan mengintegrasikan pendirian Asrama Putri didalamnya. Sistem ini terbukti lebih dapat menuntaskan kompetensi minimal santri sesuai bidang keahlian pendidikan umumnya yaitu Multimedia, Akuntansi dan Administrasi Perkantoran. Sistem ini juga telah terbukti efektif dapat meningkatkan kualitas pendidikan salafiyah peserta didiknya. Dengan pemberlakuan sistem ini, santri SMK Nurul Huda Sukaraja juga dapat mengikuti program Muhafadzhah Al Imrithy secara tertib dan terukur.

Lalu dengan berhasilnya sistem satu atap pada SMK Nurul Huda dan PPNH II di Tanah Merah dengan SMPT dan SMAT serta STKIP C Nurul Huda ya, Pesantren Nurul Huda Sukaraja kembali membuka Unit Pendidikan Sistem Satu Atapnya dengan mendirikan Asrama Al Umamy yang terletak di komplek persawahan wilayah timur Desa Sukaraja. Pada unit ini, santri mengikuti Program intensifikasi dan kaderisasi pendidikan salafiyah dengan mengintegrasikan Kurikulum Program Diniyah Takhasus dan kurikulum madrasah Aliyah yang telah ada sebelumnya.

Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda Sukaraja, KH. Affandi,BA.

Testimonials

Happy Clients

Donec et enim vitae tellus auctor menean leo diamfeugiat nulla sed. consequat venenatis est. Praesent commodo consequat pharetra.

Amazing Experience

Fusce at nisi eget dolor rhoncus facilisis. Mauris ante nisl, consectetur et luctus et, porta ut dolor. Curabitur ultricies ultrices nulla. Morbi blandit nec est vitae dictum. Etiam vel consectetur diam.

ROY MARSHALL

FOUNDER, PICASSO

Team

Our Team

Patrick Bradley

Patrick Bradley

CEO/Founder

Sara Vargas

Sara Vargas

Designer

Philip Gilbert

Philip Gilbert

VFX ARTIST

30% DISCOUNT

Donec et enim vitae tellus auctor menean leo diamfeugiat nulla sed. consequat venenatis est. Praesent commodo consequat pharetra.