
Oleh : M. Nasir, S.S*
Cerita itu seakan telah usang. Seiring dengan hampir hilangnya identitas yang dulu menciptakan banyak karakter dan doktrin kepada kami.
Kenangan 10 tahun yang lalu itu tinggal nama diantara puing-puing yang telah usang. Tawa, canda dan lainnya selalu menghiasi perjalan kita dalam mencari identitas itu!
Terlepas dari terpikir atau tidak, penulis yakin kita semua menginginkan Nurul Huda tetap seperti yang dulu (baca: era 2000). Santri yang banyak, malam yang ceria, hiruk-pikuk dengan alunan al-Jurumiyah, Imriti, Alfiyah, Tasrifan dan lain-lain yang menjadikan desa itu (baca: Sukaraja) benar-benar menjadi Kota Santri.
Setiap Aku memandang dinding itu (baca: Sunan Ampel) berbagai macam kenangan kembali hadir. Kalimat di atas hanya bagian dari sepenggal kisah yang dulu ada.
Sampai saat ini, bahkan detik ini, semua yang merasa alumni dari berbagai kalangan dan elemen pendidikan (baca: masyarakat sekolah), penulis yakin masih selalu mengingat atau ingat akan memori masa lalu yang membentuk kita sehingga menjadi seperti ini (melaksanakan amanah) dalam ranah pendidikan dan kemasyarakatan.
Setiap orang mempunyai harapan dan tujuan dalam menjalankan agenda hidupnya. Entah itu dimulai dari hal yang sangat kecil. Sampai menjadi sebuah cita-cita hidup sehingga mencetak pribadi yang mempunyai prinsip hidup dan berfikir (tentunya dalam konteks Keislaman). Dalam kondisi bagaimanapun tanpa melupakan Almamater.
Sebagai lembaga pendidikan yang latar belakangnya mengedepankan aspek kemasyarakatan kemudian disimpulkan dalam satu kalimat “dari masyarakat untuk masyarakat”, tentunya memiliki harapan-harapan yang sangat besar terutama terhadap para alumni yang kini sedang mengembara (baca: menuntut ilmu) di negeri orang. Atau yang kini sedang mengabdi untuk masyarakatnya.
Sesuai dengan harapannya terhadap alumni, sudah pasti adalah bagaimana para alumni bisa memberikan kedamaian kepada masyarakat sekitarnya dalam menjalankan amanah Almamater yaitu “da’wah fil islam”.
Masih banyak alumni yang belum mengerti akan makna almamaternya dalam menjalankan aktifitas kemasyarakatan. Hingga hari ini mereka yang masih berada didalam kampung itu (baca; Nurul Huda ) bingung kemana arah yang akan dituju.
Berkaca dari fenomena yang ada, tidak sedikit alumni yang tidak percaya diri untuk dapat masuk kedalam lingkaran masyarakat sekitarnya. Bahkan sesama Alumni sekalipun.
Menilik kembali keberadaan Nurul Huda pasca kejayaan santrinya (yang mukim), ketika kita melihat realita yang ada sekarang, kurangnya santri yang mukim, yang ada hanya Nurul Huda (baca: Asrama Putra) tak seperti yang dulu.
Apa faktor utama yang menjadi kurangnya minat untuk menjadi santri dalam hal ini santri putra, tentu menjadi tugas kita bersama sebagai alumni.
Dengan banyaknya alumni Nurul Huda yang tersebar di seluruh penjuru pelosok Sumatera Selatan, khususnya, menjadi sebuah pertanyaan. Individualiskah mereka? Majemukkah mereka? Sosialiskah mereka? Organisatoriskah mereka? Atau Is Is yang lainnya?
Sesuai dengan tujuan filosofisya, pesantren bukan semata-mata sebagai sebuah institusi pendidikan saja. Sejak kemunculannya, pesantren adalah sebuah institusi yang telah berakar kuat di dalam masyarakat Indonesia.
Pesantren merupakan produk dari sistem pendidikan pribumi yang memiliki akar sejarah, budaya dan sosial di Indonesia (Ismail SM dkk).
Tujuan pesantren secara mendasar adalah untuk membangun dan mengembangkan kepribadian muslim yang taat kepada Tuhan dalam kondisi beriman dan bertakwa.
(Maaf masih bersambung).
31 Januari 2017
~~~~~~
Tulisan diunggah oleh akun Facebook Nasir Abahnya Fathi di grup Ikanuha. Diselaraskan dan diterbitkan kembali kali ini oleh redaksi dalam rangka refleksi untuk pengelolaan unit-unit Asrama yang lebih baik lagi menghadapi Tahun Akademik 2022/2023 yang sudah di depan mata.