
Oleh: Ade Irma Styowati*
Sejak pagi kemarin, suami galau berat karena dapat tantangan dari dinas untuk menjadi pemimpin upacara Hardiknas Disdikbud Kabupaten. Saya tau, dia sangat menyukai kesiap siagaan, hal-hal yang berbau militer, dan segala hal soal keteraturan. Sejak kecil kata ibu mertua, dia cenderung memiliki ketertarikan kesana. Dia bahkan bisa menghafal seluruh pangkat dan lambang apapun yang ada dalam kemiliteran sejak SD. Hanya saja garis kehidupan membawanya pada takdir berbeda. Dia menjadi guru, sesuai doa ibundanya yang pernah gagal menjadi guru dimasa lalu.
Masalahnya, dia sangat tidak percaya diri dengan konsonan “R” yang “bagi-nya” tidak se “R” ucapan orang lain alias “cidal” 😁. Cidal yang dia alami sebenarnya tidak begitu mengherankan, sebab rata-rata orang melayu komering yang saya tau, memiliki pengucapan “R” yang unik. “Ngulor” atau istilah suara “R” yang disembunyikan ke tenggorokan bagian dalam, jadi terkesan cidal. Rupanya hal ini menjadi “luka batin” yang disembunyikan suami sejak kecil. Dia akan menghindari acara seremonial yang itu bisa mengekspose “cidal” yang dia punya. Bagi dia, hal itu sangat memalukan dan tidak ingin dia ekspose dalam kesempatan apapun. Paranoidismenya yang berlebihan itu justru membawanya dalam moment-moment yang ingin ia hindari. Berkali-kali dia selalu menghadapinya dengan gusar, membenci si “R” yang baginya tak pernah mau berkompromi.
Pagi hari setelah mendapat telfon dari orang dinas, dia meminta pendapat saya. Yang dia utarakan hanya soal si “R”. Kemudian saya tanya balik, “selain soal “R”, kamu siap tidak?” “Sangat siap”, jawabnya mantap. Saya hanya tersenyum kemudian meyakinkan sebisa-bisanya. Sampai beberapa kali, tidak juga membuatnya bangkit dan percaya diri.
Beberapa tahun terahir ini, semenjak kenal soal vibrasi, alam bawah sadar, mental health, self love, dll pikiran saya banyak tersetting dan tentu saja mengamalkan beberapa teorinya. Maka jurus terahir yang saya berikanpun tidak jauh-jauh dari hal itu.
Saya ingat ucapan salah satu triner terkenal mas Arif RH soal bandul pendulum. Bahwa ketika kita takut dan ingin menghindari sesuatu, semesta justru berkonspirasi untuk membuat gerakan sebaliknya. Semua yang ingin dihindari justru datang berkali-kali dalam beberapa kesempatan. Tak bisa menghindar lagi kecuali menghadapinya, dan belajar menerimanya.
Saya bilang pada suami, bahwa dia harus bisa berdamai dengan ketakutannya sendiri. Berdamai dengan semua hal yang ingin ia hindari seumur hidupnya sampai hari ini.
“Ini kesempatan mu untuk berdamai dengan diri mu sendiri. Akui jika memang takut dan malu soal “R” mu itu, tapi ajak dan bujuk dirimu untuk tetap menghadapi situasi yang ada. Kalau tidak juga berdamai, kamu akan selamanya terjebak dengan “R” mu dan tak pernah melangkah kemana-mana.”
Dia masih juga bertanya “apakah orang lain dapat menerima itu?”, Saya yakinkan, “tentu saja bisa.” Karena menurut saya, cidal yang diderita pak suami tidak parah dan masih samar. Hanya saja, dia orang yang sangat perfeksionis, sehingga paranoid dengan ketidak teraturan atau kesesuaian. Saya yakinkan kembali bahwa ketika kita bisa menerima diri kita sendiri, semesta dan seisinya juga akan memberikan ruang yang lebih luas untuk menerima diri kita.
Akhirnya, berangkatlah dia untuk berlatih. Sepanjang waktu yang saya tanyakan apakah dia “nyaman”, dan rupanya dia nyaman. Dia menikmati moment diajari kesiap-siagaan oleh beberapa personil TNI untuk persiapan upacara esok harinya. Saya tau, itu sesuatu yang sangat ia sukai. Baginya, hal itu sama saja dengan menemukan tempat untuk mengembalikan nostalgianya pada cita-cita masa kecil yakni menjadi TNI. Sayapun lega. Sepanjang dia bahagia dan nyaman, hal yang lain saya yakin bisa dia handle dengan baik.
Hari ini upacara berlangsung. Semua bisa dia lewati dengan baik. Dia bahagia tidak saja karena berhasil menyelesaikan misi yang mungkin bagi orang lain sepele. Dia bahagia karena ada luka batin yang telah sembuh dan berhasil diajak berdamai. Ada bongkahan ketakutan yang runtuh dari dalam dirinya. Dia terlihat lebih enjoy dan maindfull setelah berhasil berdamai dengan si “R” nya.
Terkadang ketakutan hanya menjadi tameng hal-hal yang spesial. Bisa jadi, kekuatan kita selama ini terhalang oleh ketakutan-ketakutan diri kita sendiri. Ketakutan tidak untuk dilawan, diri sendiri juga tidak untuk dilawan, tapi untuk diajak berdamai. Semua kelemahan dan ketakutan itu diakui sebagai bagian dari diri sendiri. Bagian yang menjadi teman dalam menghadapi ketakutan bersama-sama.
Semoga kita semua bisa lebih menghargai, mempercayai, dan mencintai diri sendiri agar potensi yang kita punya berkembang lebih baik.
📸 Beb, kamu tak kalah tampan dari pak bupati wkwkkwk…
tabiek
~~~~
Penulis adalah alumni SMK Nurul Huda dan Prodi PBSI FIP Universitas Nurul Huda. Tulisan pertama kali terbit di akun Facebook Ade Irma Styowati pada sore Jumat, 13 Mei 2022. Diterbitkan ulang agar dapat menjadi inspirasi bagi orang banyak. Baik bagi alumni Nurul Huda maupun lainnya. Barkah…